Powered By Blogger

Senin, 29 April 2013

Contoh Kasus Perikatan


Kasus Hukum Perikatan

Kasus Jayenggaten SEMARANG
Akta jual beli tanah Jayenggaten dari ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra Soegiarto, pemilik Hotel Gumaya.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa (6/9).
Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH.
Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
TakMemutus Sewa. Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa.
Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayenggaten, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Gumaya merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Gumaya), dan warga Jayenggaten,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayenggaten. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 8 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Gumaya bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mahfudz Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Gumaya. Bahkan, beberapa waktu lalu Mahfudz mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Mahfudz memprihatinkankan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayenggaten pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayenggaten terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi prihatin,” ujarnya.
Analisis
Dalam kasus ini bahwa terjadi kecacatan hukum dalam akte jual beli tanah dimana dari pihak si penjual memiliki permasalahan dengan kedua pihak baik pihak Hotel Gumaya maupun dari pihak warga Jayenggaten yang saling merasa memiliki tanah tersebut. Disini si ahli waris tarsiem merasa warga tidak membayar sewa tanah karena Aisyah selaku ahli waris tidak menerima uang sewa warga maka Aisyah menganggap warga tidak membayar sewa tanah sehingga dia merasa berhak menjual tanah warisnya kepada pihak Hotel Gumaya, namun dilain pihak warga merasa dia berhak atas tanah yang mereka diami karena mereka merasa sudah menyetorkan uang sewa tanah. Dalam hal ini perikatan yang dilakukan oleh warga tidak memenuhi dasar hukum dan asas dalam perikatan baik dalam asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sedangkan menurut  asas konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas, yang disimpulkan dalam Pasal 1320.
Tapi dalam hal ini warga dengan ahli waris tidak memenuhi dua asas tersebut karena warga tidak memiliki surat-surat yang sah menurut undang-undang dan tidak ada kesepakatan antar dua pihak tidak seperti yang dilakukan antara si waris dengan pihak Hotel Gumaya. Dan menurut  saya pihak  pemerintah sudah melakukan apa yang dia mampu dengan cara media si dan pihak Hetel Gumaya sendiri mau mengganti rugi Cuma dari pihak warga tidak menyetujui solusi yang diberikan pemerintah padahal dari pihak warga tidak memiliki bukti yang sah, solusi satu-satunya adalah saling mengerti karena dari sisi bukti surat-suratnya pihak Hotel Gumaya lah yang memiliki perikatan yang sah baik secara hukum maupun dari pihak si ahli waris karena pada akhirnya jika warga masi sikukuh dengan tanah itu warga tidak akan mendapatkan apa-apa.




Sumber